Menanam Benih Kehidupan: Hukum Abadi Tabur-Tuai dalam Kanvas Semesta yang Berdenyut

Setiap pagi, ketika mentari perlahan menyapa ufuk, membuka hari baru dengan janjinya, kita berdiri di hadapan ladang luas yang kita sebut kehidupan. Di tangan kita, ada benih-benih tak terlihat: benih pikiran, benih perkataan, benih perbuatan. Dengan setiap langkah, setiap interaksi, kita menanam benih-benih ini di tanah takdir yang terhampar di hadapan. Seringkali, dalam kesibukan dunia, kita lupa bahwa tanah ini memiliki hukumnya sendiri, hukum abadi yang tak pernah tidur dan tak pernah ingkar: apa yang ditanam, itulah yang pada waktunya akan kita tuai.

Ada kisah-kisah bisu yang beredar di alam semesta—kisah tentang jiwa-jiwa yang gelisah, yang kekayaan melimpah dan pujian di sekeliling tak mampu membeli satu detik pun ketenangan sejati. Mengapa? Mungkin di awal, senyum paksa masih bisa menghiasi bibir, tawa hambar masih bisa terdengar dalam keramaian. Namun, ketika rembulan mengambil alih tugas mentari, saat kesendirian merayap dalam sunyi malam, bayangan pedih yang kita torehkan pada orang lain akan kembali. Tidak ada satu pun jiwa yang bisa benar-benar merasakan damai di ranjang tidurnya setelah membuat hidup orang lain porak-poranda. Kepercayaan yang kita khianati, hati yang kita lukai, akan menjadi hantu-hantu yang membayangi setiap sudut ruang batin, merampas ketenangan.

Ini bukan sekadar filsafat atau dogma; ini adalah arsitektur moral alam semesta yang bekerja dengan presisi matematis. Bayangkan seorang petani yang menanam biji pare—buahnya pahit. Tak peduli seberapa kuat ia berharap, seberapa keras ia berdoa, ia takkan pernah memetik buah mangga yang manis dari pohon pare itu. Demikian pula dengan benih kehidupan. Jangan pernah tertipu oleh ilusi kemenangan sesaat, ketika kita menanam benih kebohongan dan mengharapkan panen kepercayaan, atau menanam benih kecurangan dan berharap hasil kejujuran. Hukumnya sederhana dan brutal dalam keadilannya: jika benih yang kita tanam adalah duri beracun dari "bunga bangkai"—simbol perbuatan buruk dan busuk—jangan pernah berharap memetik mawar yang indah dan harum darinya.

Jika hari ini tangan kita ringan menebar fitnah yang melukai reputasi, atau tindakan yang merenggut kebahagiaan orang lain, menanam benih duka di ladang hidup mereka, maka bersiaplah. Alam semesta sedang mencatat. Suatu saat nanti, panen duka itu akan disajikan di meja kehidupan kita sendiri. Setiap tetes air mata yang jatuh karena perbuatan kita, kelak akan menjadi embun pahit di ladang jiwa kita. Hukum alam semesta bekerja dengan presisi yang tak terhindarkan. Ia mungkin menunda penagihan, memberimu waktu untuk lupa dalam hingar bingar dunia, tetapi tagihan itu pasti sampai.

Di sisi lain spektrum, ada kabar baik yang sering luput dari perhatian kita. Tidak ada kebaikan sekecil apa pun yang akan terhapus oleh angin waktu atau luput dari perhitungan semesta. Setiap senyum tulus yang kita berikan pada orang asing, setiap uluran tangan yang membantu seseorang bangkit, setiap kata lembut yang menenangkan jiwa, adalah benih-benih cahaya yang ditanam di tanah paling subur. Mereka mungkin tidak segera berbuah materi atau pujian, tetapi mereka sedang membangun jembatan kebaikan yang kokoh, fondasi keberkahan yang takkan lapuk. Sebaliknya, tidak ada kejahatan, sekecil atau serapi apa pun disembunyikan, yang tak akan menemukan balasannya. Setiap jejak hitam yang kita tinggalkan akan membekas, menunggu waktu untuk terungkap.

Jiwa adalah ladang lain yang tak kalah penting untuk kita garap. Seseorang yang terus-menerus memupuk kebencian di dalam hatinya, menabur benih iri dan dengki, akan menemukan bahwa panennya adalah kehampaan yang menyiksa. Kebencian adalah racun yang menggerogoti dari dalam, meninggalkan ruang hampa di tempat seharusnya bersemayam cinta dan kedamaian. Sebaliknya, hati yang bening, bersih dari niat jahat, adalah sumber mata air kebahagiaan sejati. Ia memancarkan energi positif yang tidak hanya menyehatkan diri sendiri, tetapi juga menarik hal-hal baik dari semesta.

Pilihan jalan pun menentukan panen. Kesabaran, yang seringkali terasa berat dan lambat, adalah proses membangun dengan batu terbaik, meletakkan fondasi yang kokoh satu per satu. Hasilnya adalah keberkahan yang abadi. Sementara kelicikan, yang tampak seperti tukang bangunan tercepat—mendirikan menara tinggi dalam semalam di atas pasir—akan menghasilkan kesengsaraan. Struktur yang dibangun di atas tipu daya pasti akan runtuh, menimpa si pembangunnya.

Jika jalan hidupmu terasa penuh onak dan duri, jika setiap langkah terasa nyeri, setiap pijakan menyakitkan, berhentilah sejenak sebelum menyalahkan takdir yang kejam. Tataplah ke belakang dengan jujur. Kemudian, di tengah rintihan itu, kesadaran itu mungkin datang menusuk: Oh, ternyata aku sendiri yang menanam duri-duri ini dengan pilihan dan perbuatanku di masa lalu.

Memang benar, kejahatan terkadang tampak memenangkan pertempuran. Ia berkilau, berisik, dan mendapat sorotan. Namun, kemenangan itu fana, bagai fatamorgana di gurun. Kebenaran, meskipun seringkali sunyi, meskipun jalannya berliku dan penuh tantangan, selalu memiliki daya untuk menemukan celah, memecah kegelapan, dan pada akhirnya, menegakkan dirinya. Kegelapan, sekuat apa pun cengkeramannya, tidak akan pernah bisa memadamkan cahaya kebenaran selamanya.

Mungkin apa yang kini menghampiri kita, baik kebahagiaan yang meluap, keberuntungan yang tak terduga, atau badai masalah yang tak henti-hentinya, bukanlah kebetulan semata. Ia adalah bisikan semesta, pemberitahuan bahwa waktu panen telah tiba. Ia adalah cerminan jujur dari benih-benih yang pernah kita tanam di masa-masa sebelumnya.

Pilihan ada pada kita, para petani kehidupan, di setiap detik yang berdetak. Di hamparan ladang takdir yang terbentang luas, mari kita jadikan setiap hari sebagai kesempatan berharga. Dengan kesadaran penuh, dengan niat yang tulus, mari kita menanam benih-benih kebaikan: empati, kejujuran, kerja keras yang halal, kasih sayang, pengampunan, dan keberanian untuk berbuat baik meskipun sulit. Siramilah benih itu dengan air kesabaran dan pupuk keikhlasan. Rawatlah dari hama-hama negatif yang mencoba menggerogoti.

Percayalah, di ujung perjalanan, di musim panen kehidupan, ladang jiwa kita akan subur. Buah-buahan manis akan bergelantungan di pohon perbuatan baik kita, mengisi keranjang hidup dengan kebahagiaan, ketenangan, dan keberkahan yang melimpah. Udara di sekitar kita akan penuh dengan keharuman kebaikan yang kita tebarkan.

Dengan menanam kebaikan, kita tidak hanya mengubah takdir kita sendiri, tetapi juga turut memperindah kanvas semesta yang berdenyut ini. Mudahan-mudahan, kelak hidup kita benar-benar dipenuhi dengan keindahan panen yang kita ciptakan sendiri. 

Padang, 25 April 2025

Penulis: Andarizal 


Topik Terkait

Baca Juga :