Memutus Mata Rantai Kemiskinan di Sumbar: Kunci Ada di Tangan Kebijakan

Di ranah nan permai ini, Sumatera Barat, angka-angka itu bukan sekadar statistik kering. Mereka adalah bisikan pilu dari bilik-bilik sempit, cerminan asa yang terjerembab di hadapan realitas yang getir. Ketika Kapolda mengungkap, 819 anak luput dari bangku SD, 1039 terlepas dari gerbang SMP, dan 1485 tak lagi menjejak SMA, itu adalah wajah-wajah masa depan yang tersandera. Mayoritas, kata beliau, adalah buah simalakama ekonomi. Pandemi mempercepat langkah mereka menjauhi sekolah, sebab gawai daring tak tergapai. Dari sanalah, sebuah keterputusan berlanjut menjadi jurang.

Kemiskinan, ia bukan hanya kondisi kekurangan harta. Ia adalah "energi negatif" yang merayap, menelusup ke ruang jiwa, dan, ah, berpotensi mendorong langkah-langkah putus asa menuju gelapnya kriminalitas di usia belia. Ia adalah mata rantai kokoh, diwariskan seolah takdir, dari orang tua ke anak, mengunci potensi dalam lingkaran yang sama. Pendidikan adalah palu godam untuk memutus rantai itu, namun gerbang sekolah acap kali terlalu mahal bagi tangan-tangan yang ringkih.

Asa untuk bangkit, untuk merajut nasib baru, selalu menyala. Keluarga miskin pun memilikinya. Namun, keinginan saja hanyalah api tanpa kayu bakar. Mereka butuh denyut nadi usaha, butuh modal sebagai napas pertama langkah perbaikan ekonomi.

Di sinilah letak ironi yang menusuk. Ketika tangan-tangan itu menggapai program pembiayaan yang ada, seperti KUR yang mulia niatnya, mereka terantuk pada "syarat batu" yang dingin: usaha harus sudah bernyawa minimal enam bulan, harus berizin resmi. Syarat ini, bagi mereka yang benar-benar dari titik nol, adalah tembok tebal yang membisu. Bagaimana bisa memulai usaha enam bulan lalu, jika untuk modal awal saja mereka tak punya apa-apa? Sistem ini, tanpa sadar, seperti menolak memberikan kunci pada mereka yang paling membutuhkan pintu.

Tetapi, Ranah Minang, dengarkan! Mata rantai gelap ini BISA diputus. Ini bukan takdir alam yang abadi, melainkan celah dalam sistem yang butuh sentuhan. Kunci untuk memutusnya, sesungguhnya, ada di tangan kebijakan.

Wahai para pemegang kebijakan, para nakhoda di bank BUMN/BUMD, para pemimpin di Forkopimda! Lihatlah angka-angka itu sebagai cermin tanggung jawab. Jangan biarkan kemiskinan menjadi proyek rutin, jadikan ia medan perjuangan kemanusiaan.

Bank-bank BUMN/BUMD, Anda adalah garda terdepan. Bukan sekadar menyalurkan dana, tapi menciptakan kesempatan. Tempa program baru khusus untuk "nasabah pemula" ini. Asah kembali "syarat batu" itu. Hapus kewajiban usaha berjalan enam bulan dan izin usaha bagi mereka yang baru ingin melangkah. Beri mereka kepercayaan, beri mereka napas pertama.

Forkopimda, Anda adalah simpul kekuatan di daerah. Pimpin terobosan ini dengan kearifan lokal. Rangkul kekuatan Zakat, CSR BUMN/BUMD, dan swasta. Himpun dana itu, putarkan sebagai pinjaman bergulir yang bunganya lebih lunak dari bisikan angin senja, jauh di bawah KUR. Dan yang terpenting, sediakan pendamping, fasilitator yang berjalan bersama, menuntun, memberi konsultasi, agar benih usaha yang ditanam tidak layu di tengah jalan.

Ini bukan hanya soal angka, ini soal nasib, soal masa depan Sumatera Barat. Membuka akses permodalan bagi keluarga miskin untuk merintis usaha adalah tindakan strategis. Ia bukan hanya memerangi kemiskinan dari akarnya, tapi juga meredam gelombang pengangguran dan, ya, menarik kembali tunas-tunas belia dari potensi jalan gelap.

Kebijakan yang berpihak, itulah kunci emasnya. Kunci yang membuka pintu harapan keluarga kurang mampu, memutus mata rantai gelap, dan merajut kembali mimpi-mimpi yang terkoyak di Ranah Minang. Mari genggam kunci itu bersama, dan kita putar ke arah cahaya.

Padang, 20 April 2025

Penulis: Andarizal (Wartawan Biasa) 


Topik Terkait

Baca Juga :