Ketika Label Halal Jadi Alat Penipu: Perspektif Hukum dan Kearifan Adat Minangkabau
Peredaran produk dengan label halal palsu kembali meresahkan masyarakat. Temuan anyar dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menemukan sembilan produk pangan mengandung babi, tujuh di antaranya bersertifikat halal, adalah bukti nyata kejahatan terhadap konsumen muslim. Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, praktik culas ini adalah penipuan keji yang menodai nilai-nilai sakral, baik dalam syarak maupun adat.
Di ranah Minangkabau, Pusat Kajian Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau (PUJIAN ABSSBK HAM) telah lama menyoroti persoalan ini. Mereka mengingatkan kembali falsafah yang dipegang teguh, yang salah satunya terangkum dalam ungkapan almarhum Buya Hamka: "Halal dek kitab tak halal dek kicap". Ungkapan ini bukan sekadar perihal rasa di lidah, melainkan cerminan kearifan lokal yang mempertimbangkan dimensi kepatutan, kebersihan, dan penerimaan sosial di samping hukum agama (kitab).
Dalam kasus cacing tanah yang ditanyakan kemenakannya, Buya Hamka menjelaskan bahwa meskipun ada dalil fikih yang membolehkan memakannya karena manfaat dan ketidakbahayaannya ("halal dek kitab"), orang Minangkabau mungkin tetap merasa jijik atau tidak pantas mengonsumsinya ("tak halal dek kicap"). Falsafah ini mengajarkan bahwa kehalalan memiliki lapisan makna yang lebih luas, mencakup kesesuaian dengan nilai-nilai kepantasan dan kearifan lokal.
Ketika produk yang jelas haram, seperti mengandung babi, justru diberi label halal, ini adalah bentuk penipuan yang jauh melampaui masalah rasa atau kepantasan semata. Ini adalah kebohongan struktural yang mengeksploitasi kepercayaan umat. Pelaku tidak hanya melanggar hukum Allah yang menjadi sumber syarak ("syarak basandi Kitabullah"), tetapi juga mengkhianati amanah dan prinsip kejujuran dalam adat. Produk semacam itu, dalam kacamata falsafah Minangkabau, sudah sepatutnya tidak "halal dek kitab" (karena hukum Islam mengharamkannya) dan tentu sangat tidak "halal dek kicap" (sangat tidak patut dan menjijikkan karena mengandung unsur haram dan didapatkan melalui cara menipu).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) telah memberikan landasan hukum yang kuat. Beleid ini mewajibkan sertifikasi halal bagi semua produk yang beredar di Indonesia, dengan masa berlaku 4 tahun dan kewajiban perpanjangan. Puncaknya, per 17 Oktober 2024, kewajiban ini mulai berlaku secara penuh. Lebih penting lagi, UU JPH mengamanatkan pelaku usaha untuk senantiasa menjaga kehalalan produknya setelah mendapatkan sertifikat. Kegagalan menjaga komitmen ini atau bahkan sengaja memalsukan label halal dapat berujung pada sanksi pidana berat, yakni penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 2 miliar.
Langkah cepat BPJPH dan BPOM menarik produk-produk bermasalah dan memberikan peringatan adalah tindakan yang patut didukung. Kooperatifnya pelaku usaha dalam kasus ini, yang sejauh ini berujung pada sanksi administratif, menunjukkan efektivitas pengawasan awal. Namun, potensi sanksi pidana harus tetap menjadi ancaman nyata bagi siapa pun yang mencoba bermain-main dengan kehalalan produk dan menipu konsumen.
Pemerintah juga patut diapresiasi atas upaya memfasilitasi sertifikasi halal, terutama bagi UMKM melalui program gratis seperti skema self declare dan SEHATI dengan kuota jutaan sertifikat di tahun 2025. Ini adalah langkah strategis untuk memperluas cakupan sertifikasi dan memudahkan pelaku usaha kecil. Namun, program ini juga harus dibarengi dengan edukasi yang masif tentang pentingnya menjaga integritas halal itu sendiri, bukan sekadar mendapatkan label.
Keresahan publik, sebagaimana terekam di media sosial, adalah alarm bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Tuntutan masyarakat agar dilakukan uji klinis berkala, terutama pada produk impor, adalah hal yang wajar demi memperkuat jaminan kehalalan. Kepercayaan konsumen adalah modal utama industri halal. Ketika kepercayaan itu dikhianati oleh segelintir pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, dampaknya bisa sangat merusak.
Dalam bingkai adat Minangkabau, penipuan berlabel halal ini adalah aib. Ia mengkhianati prinsip "basandi syarak" dan merusak tatanan "basandi kitabullah". Ia juga merendahkan martabat "kicap" atau penerimaan yang didasari kepatutan dan kejujuran. PUJIAN ABSSBK HAM mengingatkan kita bahwa menjaga kehalalan produk bukan hanya kewajiban legal-formal, tetapi juga representasi moral dan kultural yang dalam.
Untuk mengakhiri praktik haram berlabel halal ini, diperlukan sinergi kuat antara pemerintah, pelaku usaha, ulama, pengawas jaminan produk halal, dan masyarakat. Penegakan hukum harus tegas, pengawasan harus ditingkatkan, edukasi harus digalakkan, dan masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas dan proaktif. Hanya dengan begitu, jaminan produk halal di Indonesia dapat benar-benar terwujud, melindungi umat, dan menegakkan amanah syarak serta adat.
Padang, 24 April 2025
Oleh: Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd. Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta