Senja di Mimika: Ketika Tawa Anak Memecah Sunyi, Lelah Kompol Yusuf Seolah Sirna
MIMIKA, PAPUA TENGAH - 1 FEBRUARI 2025 - Senja merangkak turun di Mimika, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu yang memukau. Di tengah kesibukan yang mulai mereda, seorang anak kecil berlari menghampiri Kompol Yusuf Tauziri, Wakasatgas Humas Operasi Damai Cartenz-2025. Wajahnya ceria, matanya berbinar, penuh dengan rasa ingin tahu dan kepolosan khas anak-anak.
Kompol Yusuf, yang baru saja menyelesaikan tugasnya, merasakan lelah yang mulai menghimpit. Namun, ketika tawa riang anak itu memecah kesunyian senja, lelahnya seolah sirna. Pertanyaan-pertanyaan jenaka yang dilontarkan sang bocah disambut dengan senyum dan tawa hangat.
Mereka duduk bersama di sebuah bangku sederhana, berbagi cerita dan tawa. Kompol Yusuf bercerita tentang tugasnya, tentang pentingnya menjaga kedamaian di tanah Papua. Anak itu mendengarkan dengan seksama, sesekali menyela dengan pertanyaan yang membuat suasana semakin akrab.
Momen sederhana ini bukan sekadar interaksi biasa. Ini adalah potret humanisme yang nyata, sebuah jembatan hati yang dibangun di tengah perbedaan. Di mata anak itu, Kompol Yusuf bukan lagi sosok aparat yang kaku, melainkan seorang teman, seorang kakak, seorang yang peduli.
"Kami ingin kalian merasa aman," kata Kompol Yusuf, "Kami ingin kalian tahu bahwa kami datang membawa kedamaian, bukan ketakutan."
Kalimat itu terucap tulus dari hati, mencerminkan komitmen Operasi Damai Cartenz-2025 untuk mengedepankan pendekatan humanis. Bukan dengan senjata, melainkan dengan senyuman, tawa, dan kebersamaan, mereka berusaha membangun kepercayaan dan menciptakan kedamaian di Bumi Cenderawasih.
Malam itu, di bawah langit Mimika yang bertabur bintang, terjalin sebuah ikatan. Ikatan yang dibangun bukan dengan kekuatan, melainkan dengan kelembutan hati. Ikatan yang menjadi bukti bahwa kedamaian sejati hanya bisa diraih dengan cinta dan pengertian.
Kisah ini adalah secuil dari ribuan kisah humanis yang terjadi di Papua. Kisah yang mengingatkan kita bahwa di balik setiap seragam, ada hati manusia yang merindukan kedamaian. Dan bahwa kedamaian itu hanya bisa diraih dengan membangun jembatan hati, bukan tembok pemisah.
Editor: Andarizal